“Arrghh, badan pegel banget.” Keluhku setelah setengah hari duduk di depan komputer mengerjakan begitu banyak laporan. Begitu kulihat jam, waktu sudah menunjukan 9.30 malam. Aku kemudian masak mie rebus sebagai makan malam dan setelahnya jalan jalan sebentar di kompleks.
Untungnya kompleks aku ini termasuk yang aman dan layak untuk jalan. Paling tidak tidak ada keributan atau jalanan yang kotor dimana kadang kita harus berhati hati sewaktu jalan. (Terima kasih kepada perusahaanku yang sudah mengontrakan rumah ini untuk aku seorang, dan HARUS atas segala kerja kerasku. Hehe.)
Setelah jalan 10 menitan, aku berpas pasan dengan seorang satpam yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Kulihat ia memiliki tubuh yang bagus, tidak kurus ataupun gemuk, dengan tangan yang sedikit berotot.
“Malam, pak.” Kesannya dengan menggunakan logat khas Jawa.
“Malam. Orang baru ya?”
“Ya. Baru aja dipindahin dari komplek sebelah.”
Kita lalu berbincang bincang sambil jalan mengelilingi komplek. Akhirnya tiba di topik yang seru.
“Dah nikah belum?” Tanyaku.
“Belum pak. Masih muda. Nikah masih lama.”
“Berarti kalo kawin sudah dong?”
Dia tertawa, “Enggak lah, pak. Disini saja sudah sibuk tiap hari. Enggak ada waktu lagi. Bapak sendiri dah nikah?”
“Sama, masih jomblo. Kagak ada yang mau sih.”
“Masa sih, pak? Orang cakep, putih gitu masa enggak ada yang mau. Ada yang salah kali?” Dia kemudian merasa yang ia ucapkan sedikit berlebihan. “Eh maaf, pak. Enggak ada maksud menyinggung.”
“Santai aja lagi. Gue orangnya asyik asyik aja. Jangan manggil bapak deh. Panggil aja Jimmy. Namanya siapa?”
“Aldi. Lalu bapak, eh, Jim, tinggal ama siapa?”
“Sendiri. Kenapa? Mau mampir?”
“Lagi ngeronda nih. Ketahuan bisa dimarahin gue.”
“Kagak ada yang tahu kalau gue kagak laporin. Sekalian nemenin ngobrol deh.” Akhirnya ia mengikutiku ke rumah dan kita duduk bersama di beranda sambil kubawakan teh hangat. Lumayan, untuk ademin badan pas lagi musim hujan gini.
“Enak juga ya, Jim. Tinggal sendirian kayak gini. Mau apa aja bebas.” Aku kemudian berpikir, “Wah, kayaknya ini orang mancing nih. Gue coba ah.”
“Mau ngapain emangnya? Sendirian gini mah enggak enak. Masa semuanya sendiri? Kasihan dong ‘adik’nya. Kan butuh teman juga.” Pancingku.
Dia tertawa terbahak. “Kenapa? Lu mau temenin gue? Dah lama gue gak keluarin juga sih.” Dia terdiem sebentar namun tanpa kupedulikan, aku langsung mulai meraba pahanya.
“Jim, jangan deh. Malu juga dilihat orang.”
“Siapa yang mau lihat jam segini? Kita masuk aja yuk.” Kita masuk ke dalam rumah dan kini kulihat dengan jelas raut mukanya yang jantan, kulitnya yang kecoklatan, dengan pipi yang klimis bekas cukurannya. Aku menjadi semakin terangsang melihatnya. Ia kemudian duduk di sofa tamu dimana aku langsung mulai meraba penisnya dari celana seragam satpamnya. “Tenang aja, Di. Jangan gugup dong.”
“Gue belum pernah nih. Enggak tahu harus ngapain.” Begitu mendengarnya, aku langsung mencium bibirnya yang merah itu sambil berusaha membuka bajunya. Setelah terbuka aku lalu mengigit pentilnya secara bergantian sambil membuka bajuku sendiri dan celana seragamnya. Dapat kurasakan betapa tegang penisnya.
Ia lalu berdiri. Jatuhlah celana seragamnya dan dapat kulihat celama dalam berwarna biru gelap miliknya dengan penis yang tegang ke arah kanan. Aku mengocoknya dengan kencang. “Ahhh….Ahh….” Tak sabar aku lalu jongkok di depan penisnya dan kubuka langsung celananya. “Gile, gede banget kontolmu, Di. Ini sih raksasa.” Penisnya memang panjang banget. Setelah kugenggam kuprediksi panjangnya ada sekitar 18an cm. Kuoral kontolnya yang tebal itu. “Enak ‘ngak, Di?” “Eeenakk banget. Ahh…” Kulihat ekspresinya sambil menggigit bibir bawahnya.
“Gantian ya?” Ia lalu jongkok di depanku dan langsung kubuka celana pendekku. Ia terkejut karena kubuka tiba tiba. “Kamu belum disunat ya, Jim? Lucu juga ya kontolmu, panjang lagi.”
“Suka? Isepin dong. Pelan pelan aja, dan jangan pakai gigi ya.”
Sebagai pemula isepannya termasuk hebat. Aku sempat berpikir kalau ternyata dia memang gay lagi. Tapi siapa yang peduli? Kini ia sudah berada dibawahku. “Auww, sakit dong, say.” Giginya mengenai kepala kontolku yang masih sensitive.
Aku kemudian menidurinya di atas lantai dan aku duduk diatasnya. Sambil menciumnya, aku mengocok kontolnya bersama dengan punyaku.
“Ah, enak ya? Kontol lu enak banget, Di.” “Iya, punya lu juga. Gue kocokin ya?” “Kocokin aja. Kita keluar bareng ya?”
Badan kami berdua mulai keringatan. “Ah, Di. Gue mau keluar nih. Cepetan, Di. Ohh…” Akhirnya aku keluar dengan peju yang banyak dan hangat. Aku kemudian mengambil pejuku dan menggunakannya untuk mengocok penisnya. “Oh, genggam yang kuat, Jim lalu kocokin yang keras yaaaa.. Ohh…Ohh…” Akhirnya ia pun mencapai titik orgasmenya yang tertinggi. Beberapa semprotan pejunya bahka mengenai dagu dan rambutku.
Kami berbaring bersama dan kemudian berbilas. Saat bilas aku mengatakan kalau ia boleh datang kapan pun ia mahu. Tentunya ia tidak menolak. Sejak saat itu, kami berdua menjadi lebih dekat walau tidak jadian. Ia masih ingin untuk nikah suatu hari ini nanti. Ya, bagiku selama sudah mendapatkan kepuasan seperti itu, kenapa tidak? Toh, aku menjadi orang pertama yang memerawaninya.